JANGAN MUDAH MEMINTA MAAF
Konsep berpikir terbalik kali ini adalah tentang sebuah kata yang katanya "Ajaib".
Kata “maaf” diartikan sebagai ampunan/pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Manifestasinya dalam hubungan bermasyarakat, bila seseorang melakukan apa yang dianggap sebagai kesalahan, maka dengan meminta maaf berarti telah diampuni/dibebaskan dari hukuman. Dengan kata lain bila bersalah, mintalah maaf, maka selesailah sudah masalah, tuntaslah persoalan, beres!
Apa betul demikian? Kalau benar seperti itu, tidak akan pernah kita lihat orang berkelahi di jalan cuma karena masalah sepele, misalnya kendaraan satu menyenggol kendaraan lain, sepeda motor melanggar pejalan kaki, atau pertengkaran lain. Padahal kita menyaksikan sendiri, dimana pihak yang salah telah meminta maaf. Lantas apa yang menyebabkan persoalan tersebut tidak kunjung selesai dengan baik, malah meruncing menjadi pertikaian? Ini dapat berarti bahwa di samping meminta maaf, ada hal lain yang lebih esensial. Hal mana perlu ditengok kembali, karena cukup jauh sudah kita ikut hanyut dengan pengertian bahwa segalanya dapat diselesaikan dengan “maaf”.
Meminta maaf erat kaitannya dengan memberi maaf, artinya bila ada seseorang yang meminta maaf, maka ada pihak di seberangnya yang memberi maaf. Memaafkan diartikan juga sebagai sikap dan tindakan mulia, tidak lagi menganggap salah bagi seseorang yang berbuat salah. Memaafkan adalah sifat yang diajarkan semua agama sebagai pengejawantahan dari kebaikan dan kebajikan manusia beriman.
Meminta maaf adalah hasil penalaran jernih atas kesadaran telah melakukan kekeliruan. Namun prakteknya, banyak orang meminta maaf bukan dilandasi kesadaran telah melakukan kesalahan, melainkan meminta maaf hanya demi menghindari hukuman. Mereka berkeyakinan dengan meminta maaf, maka orang wajib memaafkan (seperti diajarkan agama) yang berarti membebaskannya dari hukuman. Mereka lupa, bahwa memaafkan terbagi dalam dua kategori, yaitu memaafkan sebagai suatu sikap moral dan sebagai sikap hukum. Secara moral orang yang bersalah bisa dimaafkan, tetapi secara hukum, dia harus mempertanggung-jawabkan kesalahannya. Itu sebabnya proses hukum selalu diperlukan untuk memastikan seseorang bersalah atau tidaknya, karena menyangkut pertanggung-jawaban atas kesalahannya.
Tidak memaafkan bukan berarti dendam
Terjadi dilema bagi korban, dimana orang yang bersalah kepadanya berinisiatif memohon maaf dengan harapan si korban akan menanggapinya dengan semangat manusiawi yang sama pula. Di sini si korban khawatir bila memberikan respon positif, akan ditafsirkan secara sepihak sebagai akhir prosesnya mencari keadilan. Sebaliknya respon negatif yang diberikan akan dijadikan pintu masuk pelaku kriminal untuk mengekspos watak positifnya guna mencari dukungan sekaligus melecehkan korban dengan menyebut mereka sebagai manusia yang tidak berperi-kemanusiaan.
Untuk soal yang bobotnya lebih ringan, korban juga memiliki kekhawatiran bila maaf yang diberikan diartikan sebagai aborsi dari aneka kewajiban yang harus ditanggung peminta maaf.
Sebagai contoh mudahnya, saya pernah mengalami mobil yang dikendarai ditabrak sepeda motor dari belakang, padahal kondisi mobil saat itu sedang diam saat lampu merah. Kalau hanya menyenggol spion meski dengan sangat keras, atau menyerempet sisi mobil hingga meninggalkan jejak garis yang tidak dapat dihapus, biasanya saya langsung memaafkan dengan berpikir bahwa itu jauh lebih baik dibandingkan saya mengejar, menyumpah lalu bertengkar yang akhirnya menjadi semakin buruk. Namun kali ini motor yang menabrak tadi tidak bisa langsung jalan, jadi kami berurusan setelah meminggirkan kendaraan dan melihat penumpang tadi tidak terluka serius. Disaksikan kerumunan orang, penabrak mengemis-ngemis meminta maaf yang tentu saja langsung saya maafkan dengan syarat. Saya katakan bahwa maaf yang saya berikan tidak semerta-merta menghapuskan tanggung jawabnya memperbaiki kondisi mobil yang dirusaknya, dengan membebaninya biaya klaim administrasi asuransi kendaraan bermotor.
Tentu saja tindakan saya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dendam, karena dendam diartikan sebagai keinginan keras untuk membalas tindakan atau perbuatan yang merugikan saya. Artinya kalau saya tidak begitu saja memaafkan penabrak, bukan berarti saya dendam, tetapi sebatas meletakkan persoalannya secara proporsional. Memaafkan secara moral tidak berarti menghapuskan pertanggung-jawaban hukum seseorang yang bersalah, ini bisa menimbulkan pemaafan semu. Memaafkan tapi tidak tulus, mengampuni tapi tidak ikhlas. Bukan memaafkan model ini yang diajarkan agama.
Beratnya memberikan maaf kepada orang lain, lebih didominasi amarah dan benci karena merasa teraniaya. Jika persoalan memberikan maaf karena sebatas moral tanpa ada kesalahan atas pelanggaran hukum, akan lebih indah dan bermanfaat bila dengan mudah memaafkan bahkan sebelum orang yang bersalah tersebut meminta maaf, karena belum tentu orang yang kita anggap bersalah sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lain halnya bila bersangkut-paut dengan pelanggaran hukum.
Jangan mudah meminta maaf
Ada kondisi yang membuat kita berpikir dan bertindak sekenanya tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. Di jalan, dengan tanpa rasa bersalah kita dengan seenaknya memotong jalan kendaraan orang lain tanpa sinyal. Ketika bergaul, ucapan tanpa pikir panjang dapat menyakiti hati orang lain. Saat bekerja dengan separuh hati, berakibat hasil yang didapat tidak memuaskan, bahkan sering merugikan tempat kita bekerja. Keputusannya membuat kebijakan hanya menguntungkan diri sendiri, menindas kepentingan orang lain. Tak terhitung kesalahan yang telah diperbuat dengan sengaja, terlebih lagi kesalahan di luar kesadaran. Kemudian dengan mengandalkan kekuatan maaf, mereka cukup meminta maaf tanpa beban di hati atau jiwanya. Mereka meyakini bahwa setelah mulut berucap maaf dan dijawab dengan pemberian maaf, maka sudah terlepas pula tanggung-jawabnya.
Hidup memang diwarnai terang atau gelap, badai atau pelangi. Banyak badai yang terjadi karena kita sendiri yang membuatnya tanpa disadari. Cobalah sesekali menengok ke belakang, maka akan terlihat betapa panjang jejak kehancuran yang kita tinggalkan. Betapa banyak luka di hati orang-orang yang pernah kita sakiti. Itu semua tidak mudah terhapus hanya dengan kekuatan maaf, melainkan dengan tindakan. Tindakan yang menunjukkan bahwa maaf yang kita minta, lahir dari hati dan pikiran penuh kesadaran. Perbuatan yang sedikitnya memperbaiki masa kini dengan bercermin dari kesalahan yang telah lewat. Karena kita sadar bahwa kita tidak akan bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dengan demikian, bukan puing reruntuhan yang kita perlihatkan, tapi keindahan pelangi setelah badai.
Memang sudah kodrat kita sbg manusia tak luput dari kesalahan, akan tetapi kita diberikan akal pikiran, hati dan perasaan untuk dapat berpikir dan merasa apa yang yang baik, apa yang benar sebagai persiapan dalam melangkah. Setidaknya bukan sengaja melakukan kesalahan dengan mau mengerti dan berempati terhadap orang lain. Sehingga kita tidak terjebak dalam perangkap maaf yang dapat memudahkan seseorang untuk berbuat salah. Berpikir mudah untuk meminta maaf, akan mencetak pribadi yang cenderung terus menerus melakukan banyak kesalahan. Agama tidak mengajarkan orang untuk sering meminta maaf, melainkan keutamaan untuk memberi maaf.
Bagaimana pendapat Anda? Tak perlu meminta maaf bila tidak sepaham. Cukup tunjukkan kesalahan saya, kemudian bersiap menerima ucapan terima kasih dari saya.
Jakarta, 1 Maret 2008
Mugi Subagyo
Kata “maaf” diartikan sebagai ampunan/pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Manifestasinya dalam hubungan bermasyarakat, bila seseorang melakukan apa yang dianggap sebagai kesalahan, maka dengan meminta maaf berarti telah diampuni/dibebaskan dari hukuman. Dengan kata lain bila bersalah, mintalah maaf, maka selesailah sudah masalah, tuntaslah persoalan, beres!
Apa betul demikian? Kalau benar seperti itu, tidak akan pernah kita lihat orang berkelahi di jalan cuma karena masalah sepele, misalnya kendaraan satu menyenggol kendaraan lain, sepeda motor melanggar pejalan kaki, atau pertengkaran lain. Padahal kita menyaksikan sendiri, dimana pihak yang salah telah meminta maaf. Lantas apa yang menyebabkan persoalan tersebut tidak kunjung selesai dengan baik, malah meruncing menjadi pertikaian? Ini dapat berarti bahwa di samping meminta maaf, ada hal lain yang lebih esensial. Hal mana perlu ditengok kembali, karena cukup jauh sudah kita ikut hanyut dengan pengertian bahwa segalanya dapat diselesaikan dengan “maaf”.
Meminta maaf erat kaitannya dengan memberi maaf, artinya bila ada seseorang yang meminta maaf, maka ada pihak di seberangnya yang memberi maaf. Memaafkan diartikan juga sebagai sikap dan tindakan mulia, tidak lagi menganggap salah bagi seseorang yang berbuat salah. Memaafkan adalah sifat yang diajarkan semua agama sebagai pengejawantahan dari kebaikan dan kebajikan manusia beriman.
Meminta maaf adalah hasil penalaran jernih atas kesadaran telah melakukan kekeliruan. Namun prakteknya, banyak orang meminta maaf bukan dilandasi kesadaran telah melakukan kesalahan, melainkan meminta maaf hanya demi menghindari hukuman. Mereka berkeyakinan dengan meminta maaf, maka orang wajib memaafkan (seperti diajarkan agama) yang berarti membebaskannya dari hukuman. Mereka lupa, bahwa memaafkan terbagi dalam dua kategori, yaitu memaafkan sebagai suatu sikap moral dan sebagai sikap hukum. Secara moral orang yang bersalah bisa dimaafkan, tetapi secara hukum, dia harus mempertanggung-jawabkan kesalahannya. Itu sebabnya proses hukum selalu diperlukan untuk memastikan seseorang bersalah atau tidaknya, karena menyangkut pertanggung-jawaban atas kesalahannya.
Tidak memaafkan bukan berarti dendam
Terjadi dilema bagi korban, dimana orang yang bersalah kepadanya berinisiatif memohon maaf dengan harapan si korban akan menanggapinya dengan semangat manusiawi yang sama pula. Di sini si korban khawatir bila memberikan respon positif, akan ditafsirkan secara sepihak sebagai akhir prosesnya mencari keadilan. Sebaliknya respon negatif yang diberikan akan dijadikan pintu masuk pelaku kriminal untuk mengekspos watak positifnya guna mencari dukungan sekaligus melecehkan korban dengan menyebut mereka sebagai manusia yang tidak berperi-kemanusiaan.
Untuk soal yang bobotnya lebih ringan, korban juga memiliki kekhawatiran bila maaf yang diberikan diartikan sebagai aborsi dari aneka kewajiban yang harus ditanggung peminta maaf.
Sebagai contoh mudahnya, saya pernah mengalami mobil yang dikendarai ditabrak sepeda motor dari belakang, padahal kondisi mobil saat itu sedang diam saat lampu merah. Kalau hanya menyenggol spion meski dengan sangat keras, atau menyerempet sisi mobil hingga meninggalkan jejak garis yang tidak dapat dihapus, biasanya saya langsung memaafkan dengan berpikir bahwa itu jauh lebih baik dibandingkan saya mengejar, menyumpah lalu bertengkar yang akhirnya menjadi semakin buruk. Namun kali ini motor yang menabrak tadi tidak bisa langsung jalan, jadi kami berurusan setelah meminggirkan kendaraan dan melihat penumpang tadi tidak terluka serius. Disaksikan kerumunan orang, penabrak mengemis-ngemis meminta maaf yang tentu saja langsung saya maafkan dengan syarat. Saya katakan bahwa maaf yang saya berikan tidak semerta-merta menghapuskan tanggung jawabnya memperbaiki kondisi mobil yang dirusaknya, dengan membebaninya biaya klaim administrasi asuransi kendaraan bermotor.
Tentu saja tindakan saya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dendam, karena dendam diartikan sebagai keinginan keras untuk membalas tindakan atau perbuatan yang merugikan saya. Artinya kalau saya tidak begitu saja memaafkan penabrak, bukan berarti saya dendam, tetapi sebatas meletakkan persoalannya secara proporsional. Memaafkan secara moral tidak berarti menghapuskan pertanggung-jawaban hukum seseorang yang bersalah, ini bisa menimbulkan pemaafan semu. Memaafkan tapi tidak tulus, mengampuni tapi tidak ikhlas. Bukan memaafkan model ini yang diajarkan agama.
Beratnya memberikan maaf kepada orang lain, lebih didominasi amarah dan benci karena merasa teraniaya. Jika persoalan memberikan maaf karena sebatas moral tanpa ada kesalahan atas pelanggaran hukum, akan lebih indah dan bermanfaat bila dengan mudah memaafkan bahkan sebelum orang yang bersalah tersebut meminta maaf, karena belum tentu orang yang kita anggap bersalah sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lain halnya bila bersangkut-paut dengan pelanggaran hukum.
Jangan mudah meminta maaf
Ada kondisi yang membuat kita berpikir dan bertindak sekenanya tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain. Di jalan, dengan tanpa rasa bersalah kita dengan seenaknya memotong jalan kendaraan orang lain tanpa sinyal. Ketika bergaul, ucapan tanpa pikir panjang dapat menyakiti hati orang lain. Saat bekerja dengan separuh hati, berakibat hasil yang didapat tidak memuaskan, bahkan sering merugikan tempat kita bekerja. Keputusannya membuat kebijakan hanya menguntungkan diri sendiri, menindas kepentingan orang lain. Tak terhitung kesalahan yang telah diperbuat dengan sengaja, terlebih lagi kesalahan di luar kesadaran. Kemudian dengan mengandalkan kekuatan maaf, mereka cukup meminta maaf tanpa beban di hati atau jiwanya. Mereka meyakini bahwa setelah mulut berucap maaf dan dijawab dengan pemberian maaf, maka sudah terlepas pula tanggung-jawabnya.
Hidup memang diwarnai terang atau gelap, badai atau pelangi. Banyak badai yang terjadi karena kita sendiri yang membuatnya tanpa disadari. Cobalah sesekali menengok ke belakang, maka akan terlihat betapa panjang jejak kehancuran yang kita tinggalkan. Betapa banyak luka di hati orang-orang yang pernah kita sakiti. Itu semua tidak mudah terhapus hanya dengan kekuatan maaf, melainkan dengan tindakan. Tindakan yang menunjukkan bahwa maaf yang kita minta, lahir dari hati dan pikiran penuh kesadaran. Perbuatan yang sedikitnya memperbaiki masa kini dengan bercermin dari kesalahan yang telah lewat. Karena kita sadar bahwa kita tidak akan bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dengan demikian, bukan puing reruntuhan yang kita perlihatkan, tapi keindahan pelangi setelah badai.
Memang sudah kodrat kita sbg manusia tak luput dari kesalahan, akan tetapi kita diberikan akal pikiran, hati dan perasaan untuk dapat berpikir dan merasa apa yang yang baik, apa yang benar sebagai persiapan dalam melangkah. Setidaknya bukan sengaja melakukan kesalahan dengan mau mengerti dan berempati terhadap orang lain. Sehingga kita tidak terjebak dalam perangkap maaf yang dapat memudahkan seseorang untuk berbuat salah. Berpikir mudah untuk meminta maaf, akan mencetak pribadi yang cenderung terus menerus melakukan banyak kesalahan. Agama tidak mengajarkan orang untuk sering meminta maaf, melainkan keutamaan untuk memberi maaf.
Bagaimana pendapat Anda? Tak perlu meminta maaf bila tidak sepaham. Cukup tunjukkan kesalahan saya, kemudian bersiap menerima ucapan terima kasih dari saya.
Jakarta, 1 Maret 2008
Mugi Subagyo
3 Comments:
Menurut saya permintaan maaf yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam sudah mewakili permohonan maaf yang dapat dipertanggungjawabkan selain dari kata memberi maaf. Memang benar kata memberi maaf lebih tinggi harkatnya dibanding memaafkan menurut saya permintaan maaf yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam sudah mewakili permohonan maaf yang dapat dipertanggungjawabkan
TQ
"Mereka berkeyakinan dengan meminta maaf, maka orang wajib memaafkan (seperti diajarkan agama) yang berarti membebaskannya dari hukuman"
Mas Mugi..berfikir terbalik itu sebenarnya proses empati. Dalam Agama Islam, proses empati dibalut dengan keyakinan bahwa segalanya ALLAH SWT yang mengaturnya (segalanya hanya milik ALLAH SWT dan kembali kepada ALLAH SWT). Muslim yang baik selalu sadar empati adalah sebagian cara memberikan kebaikan kepada orang lain, tanpa harus menghitung untung rugi.
Berfikir terbalik seharusnya dilandaskan untuk perbaikan pandangan hidup cara islami bukan untuk memberikan pertanggungjawaban soal materi saja.
terima kasih
tq..tulisan yg menarik..minta ijin untuk copas beberapa paragraf terakhir untuk di sebarkan..tks
Post a Comment
<< Home