<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d38414094\x26blogName\x3dBerpikir+Terbalik\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dLIGHT\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-subagyo.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-subagyo.blogspot.com/\x26vt\x3d7694684365753830515', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

03 July 2007


SUKSES MEMBAWA KEBAHAGIAAN?

“Kalau kita bisa sukses memperoleh kemenangan, itu baru kebahagiaan sesungguhnya” atau “Yang tertawa belakangan, itulah yang tertawa bahagia” Betulkah ?
Pasti jawabannya akan berbeda jika kita berpikir terbalik

Pada saat mengikuti lomba memancing, Saya diprotes seorang teman yang juga mengikuti lomba. Dia bilang bahwa Saya tidak serius dalam berlomba, lebih banyak bersenang-senang daripada berjuang untuk memperoleh kemenangan. Saya katakan bahwa Saya berbahagia dengan keadaan Saya, tapi bukan berarti tidak berusaha memperoleh kemenangan. Berbagai cara memancing yang telah Saya kuasai sudah dikerahkan seluruhnya, begitupula dalam hal meramu umpan. Kalau ternyata yang Saya dapat hanya 6 ekor ikan, sementara teman Saya tersebut memperoleh 16 ekor ikan, kenyataannya Saya bahagia.

“Kalau kita bisa sukses memperoleh kemenangan, itu baru kebahagiaan sesungguhnya” bantah teman tersebut. Karena untuk memperoleh kemenangan, seorang pemancing harus mendapat ikan yang paling besar atau terberat saat ditimbang. “Yang tertawa belakangan, itulah yang tertawa bahagia” lanjutnya.

Makna Kebahagiaan
Benarkah yang dikatakan teman tersebut? Apakah kita harus sukses dahulu untuk mendapatkan kebahagiaan? Haruskah kita tertawa belakangan, dengan kata lain bahagia itu diperoleh belakangan? Disini rupanya perlu kita benahi beda antara “kesenangan” dan “kebahagiaan”.

Sering kita dengar ungkapan, “Uang tak bisa membeli kebahagiaan”. Kenyataannya banyak orang kaya, hartanya berlimpah, namun tidak bahagia. Sementara ada orang yang tidak punya uang tapi bahagia. Banyak juga orang yang tidak punya uang juga tidak berbahagia. Karena harus diakui pula bahwa tidak punya uang juga bikin susah.

Kebahagiaan adalah suatu pandangan hidup, suatu sikap mental, buah pikiran dari sifat-sifat optimisme, ketekunan, cinta dan pemenuhan. Kebahagiaan bukan berarti merasa senang terus menerus, atau mengalami perasaan yang menyenangkan sepanjang waktu, tapi kebahagiaan tidak berubah meski situasi atau kondisi berubah.

Pada kasus di atas, teman Saya tersebut memiliki tujuan jelas, mempersiapkan segala sesuatunya untuk sebuah kemenangan, hingga bisa pulang dengan rasa puas, menang, dan bahagia. Sehingga ia terjebak dalam perangkap kebahagiaan. Ia keluarkan biaya yang tidak sedikit untuk peralatan memancingnya, biaya yang banyak untuk umpan ikan dan pikiran yang terus menerus terfokus pada kemenangan, ia mencoba membeli kebahagiaan. Hasilnya, sampai kami pulang saat usai lomba, ia tidak berbahagia.

Bahagia Dahulu, Kemudian Sukses
Orang-orang bahagia menyadari bahwa kesusksesan adalah bukan tujuan akhir, hingga selalu berpikiran positif, berpikir positif terhadap cara atau jalan yang mereka tempuh, dan positif terhadap tujuan. Mereka tidak memetakan dalam pikiran, bahwa untuk bahagia harus menang, harus sukses, namun menyiapkan mental untuk berbahagia. Mereka berbahagia bisa meluangkan waktunya yang sedikit, untuk melakukan kegemarannya. Mereka senang dapat bertemu dan berbincang dengan komunitasnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman, pikirannya tidak terbebani hal-hal yang memberatkan. Sehingga meski mereka tidak memperoleh kemenangan, namun tetap dapat menikmati apa yang mereka jalani atau yang mereka perjuangkan. Sementara orang yang berpikir harus sukses baru bisa bahagia, kemudian tidak memperoleh apa yang dikejarnya, maka kita tahu apa yang diperolehnya: Kekalahan dan Ketidakbahagiaan.

Bukankah kesuksesan didapat bila kita dapat mencapai target? Artinya jika target tersebut terpenuhi, maka kita sukses. Jadi kalau target saya memancing adalah mendapatkan beberapa ekor ikan, tujuan saya adalah refreshing, melepaskan penat dari rutinitas yang membelenggu, bertemu dan berbincang dengan teman-teman untuk saling berbagi cerita, dan semua itu Saya dapatkan, artinya Saya sukses. Hal ini bukan berarti dikarenakan Saya hanya mempunyai target yang lebih rendah dibanding teman saya tersebut; semua pemancing dalam lomba, menginginkan keluar sebagai pemenang, tapi Saya tanamkan sejak awal, sebuah metal untuk berbahagia. Sehingga Saya tetap berbahagia kendati kalah, karena dalam pertandingan, ada menang dan ada kalah.

Perangkap Kebahagiaan
Dengan uang, orang bisa saja membeli kesenangan, harta benda, keamanan, kekuasaan, bahkan statuspun bisa dibeli di negri ini. Tapi, mari kita perhatikan kenyataan yang ada.

Cara utama yang dilakukan kaum konglomerat dalam memperoleh kekayaannya adalah dengan mengorbankan kesenangan juga kebebasannya. Mereka cenderung menghabiskan waktu untuk melipat gandakan hartanya untuk membeli kesenangan. Bila kesenangan itu terus menerus didapatkan, maka mereka akan terbiasa dalam kesenangan, sehingga kesenangan tersebut menjadi biasa dan akhirnya membosankan. Atau berapa banyak kaum selebritas kita (bukan selebritis, mengingat University jadi Universitas, Community jadi Komunitas, commodity jadi komoditas) yang terjebak dalam pesta minuman keras, narkoba dan seks bebas. Mereka coba membeli kesenangan, sebuah cara yang sia-sia yang justru menjerumuskan mereka ke arah berlawanan.

Sedangkan kesenangan memiliki harta benda, layaknya menghilangkan dahaga dengan meminum air laut, maka berapapun harta benda yang kita miliki, kita akan merasa kurang. Kalau harta benda dijadikan ukuran kebahagiaan, maka nota bene orang-orang kaya adalah orang yang paling berbahagia. Prakteknya, kebahagiaan mereka hanya sedikit di atas rata-rata. Rasa takut dan kekhawatiran atas kehilangan harta benda yang mereka miliki, membuat mereka membeli rasa aman, namun selalu timbul ketakutan dan kekhawatiran baru, terus berulang.

Kini kita perhatikan para penguasa di negri ini, bandingkan saat mereka belum memperoleh dan setelah memperoleh kekuasaannya! Begitu orang berkuasa, maka dia akan kehilangan kekuasaan atas hidupnya sendiri, karena ada begitu banyak orang yang harus dibuat senang dan wajib ditemui, ada banyak orang yang harus dilobi dan banyak orang harus dibohongi. Sedangkan status atau jabatan mereka bagai telur di ujung tanduk, mereka senantiasa resah akan ada yang menjegal untuk mengambil status yang dimiliki, dan status; setinggi apapun Anda mendaki, akan selalu ada orang di atas Anda.

Menjadi Orang Yang Berbahagia
Orang yang berbahagia menyadari betul arti kesenangan, bahwa kesenangan adalah hal yang baik, tapi tanah tandus untuk kehidupan, bukan makanan. Orang-orang bahagia tahu, sebanyak apapun uang yang mereka miliki, mereka membatasi harapan-harapannya. Karena status kebendaan adalah kelemahan orang-orang yang takut melihat diri sendiri, hingga terus menghadapi rasa takut mereka yang sejati. Orang-orang yang berbahagia tidak hanya membangun kekuatan melulu, tetapi mereka juga mencari dan memperbaiki kelemahan dan kesalahan di masa lalu, mereka tidak mengubur kenangan buruk yang menimpanya, melainkan menjadikan kenangan buruk tersebut menjadi penyemangat hidupnya.

Orang-orang yang berbahagia tidak mengejar uang, mereka mengejar hasrat atau keinginan mereka yang kuat. Mereka tidak mau disiksa oleh pikiran untuk mendapatkan lebih banyak uang. Status bagi orang-orang yang berbahagia adalah keyakinan terhadap Tuhannya, keluarga bahagia, teman-teman akrab dan kebanggaan atas pekerjaan atau apa yang mereka kerjakan.

Jadi semua tergantung tujuan hidup Anda!
Anda ingin mengejar kesuksesan dahulu, baru kemudian merasa bahagia. Atau ingin menjadi orang-orang yang berbahagia.

Semoga Berbahagia…
Jakarta, 29 Juni 2007
Mugi Subagyo

1 Comments:

Blogger Jennie S. Bev said...

Terima kasih comment Anda. Saya bahagia mengetahui betapa tulisan2 saya membawa kebaikan bagi banyak orang.

11:12 PM  

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib



Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.